Debat Cawapres 2024 Putaran Dua: Antara Gaslighting dan Dinamika Politik Ekonomi
NEWSLIVE– Debat Cawapres 2024 putaran kedua pemilihan presiden dan wakil presiden 2024 menjadi panggung dramatisasi dengan nuansa “gaslighting” dan “disconfirmation” yang diatribusikan pada seorang calon wakil presiden tertentu.
Istilah gaslighting yang berasal dari judul film karya sutradara Inggris Thorold Dickinson pada tahun 1940, menggambarkan perilaku melecehkan dan merendahkan orang lain.
Konsep ini, serupa dengan disiplin psikologi, secara signifikan berkaitan dengan “disconfirmation,” sebuah bentuk komunikasi verbal yang mencakup perilaku meremehkan dan mengabaikan pendapat orang lain (DeVito, 2011).
Dalam konteks debat cawapres 2024, kecenderungan “gaslighting” dan “disconfirmation” muncul pada sejumlah karakteristik umum.
Hal ini mencakup pengabaian atau meremehkan lawan debat, penyalahan tanpa empati, pengalihan isu, ketidakpahaman terhadap pertanyaan lawan, penekanan pada pandangan sendiri, serta kecenderungan untuk menghindari atau tidak memberikan jawaban yang konkret.
Debat Cawapres 2024 dimulai dengan elegan ketika cawapres, yaitu Muhaimin Iskandar, Gibran Rakabuming Raka, dan Mahfud MD, menyampaikan gagasan mereka mengenai topik ekonomi, termasuk investasi, pajak, perdagangan, pengelolaan APBN-APBD, dan infrastruktur.
Namun, suasana berubah drastis saat sesi menjawab pertanyaan panelis, respons terhadap lawan debat, dan pertanyaan saling menantang di antara debater.
Seorang cawapres tertentu mulai kehilangan kendali, meskipun beberapa pendukung dan sebagian pemirsa menilai perilakunya sebagai tindakan yang hebat dan “powerful.” Penonton dibawa dalam suasana tersebut dengan gambaran perilaku “gaslighting” dan “discommunication.”
Bagi penulis, momen ini dipetakan dengan memutar film “Gaslight,” menciptakan analogi antara adegan dalam film dengan dinamika debat cawapres.
Tentu saja, penilaian terhadap situasi ini bisa bersifat subjektif, karena fokus penulis terutama tertuju pada perilaku yang mencolok dari salah satu cawapres. Beberapa kalimat seperti “Bapak-bapak ini tidak paham apa yang saya bicarakan” dan “Maaf ya pertanyaan saya sulit” menjadi penanda perilaku “gaslighting” yang menciptakan kesan deviasi dalam suasana debat.
Dengan demikian, gambaran dramatisasi “gaslighting” dan “disconfirmation” dalam debat cawapres menggambarkan ketegangan dan dinamika yang mungkin memengaruhi persepsi pemirsa.
Meskipun beberapa mungkin melihatnya sebagai puncak kehebatan, pandangan subjektif penulis menyoroti potensi kerugian dalam komunikasi politik yang seharusnya menjadi wadah penyampaian gagasan dengan sejelas mungkin.