Cancel Culture dan Krisis Etika di Era Digital
NETWRITER – Di tengah era keterhubungan tanpa batas yang ditawarkan internet, masyarakat global menghadapi dinamika sosial baru yang memantik perdebatan etika dan demokrasi: fenomena cancel culture. Di balik namanya yang terdengar modern dan progresif, praktik ini memunculkan tanya besar benarkah cancel culture adalah alat perlawanan terhadap ketimpangan sosial, atau justru bentuk baru penghakiman massal yang kerap abai terhadap proses dan keadilan?
Fenomena cancel culture atau budaya pembatalan merujuk pada tindakan kolektif untuk menarik dukungan dari seseorang—biasanya tokoh publik atau selebritas karena dianggap melakukan kesalahan, pelanggaran moral, atau pernyataan kontroversial. Bentuknya bisa bermacam-macam: dari kampanye boikot, penghapusan akses, sampai tekanan agar kehilangan pekerjaan. Di dunia maya, hal ini jamak terjadi melalui linimasa media sosial.
Meski tampak sebagai bentuk koreksi terhadap perilaku yang tidak etis, dalam praktiknya cancel culture kerap berubah menjadi ruang penghakiman yang brutal. Prosesnya cepat, emosional, dan sering kali tidak menyisakan ruang klarifikasi. Konsep “tidak bersalah sampai terbukti bersalah” seakan kehilangan relevansi ketika opini publik lebih cepat terbentuk ketimbang fakta utuh muncul ke permukaan.
Keadilan dalam Sorotan Publik
Fenomena cancel culture dalam sejumlah kasus atau isu diangkat menjadi suatu kampanye. Kampanye ini membawa gelombang perubahan besar dalam mendengarkan suara korban dan membuka ruang bagi mereka yang selama ini bungkam karena takut pada kuasa pelaku. Namun, di sisi lain, tidak sedikit pula yang mengkritik bahwa kampanye ini juga berisiko menghukum seseorang tanpa proses hukum yang adil.
Dalam konteks ini, cancel culture muncul sebagai paradoks. Di satu sisi, ia menjadi instrumen untuk mendorong akuntabilitas dan pembenahan norma sosial. Namun di sisi lain, ia juga memunculkan budaya ketakutan, di mana seseorang bisa kehilangan reputasi atau mata pencaharian hanya karena satu pernyataan di masa lalu yang dianggap tidak sesuai dengan standar moral kekinian.
Krisis yang terjadi bukan hanya soal etika personal, melainkan juga mencerminkan kegagapan kolektif kita dalam menghadapi perubahan norma dan nilai di ruang digital. Dunia maya tidak hanya mempercepat distribusi informasi, tetapi juga mengubah cara masyarakat membentuk opini dan menghakimi. Sayangnya, kecepatan ini sering kali tidak diimbangi oleh kedalaman refleksi.
Siapa yang Berhak Menghakimi?
Pertanyaan besar lain yang muncul: siapa yang memiliki otoritas untuk menentukan kesalahan seseorang? Dalam sistem hukum formal, ada mekanisme dan institusi yang menjamin asas keadilan. Namun dalam cancel culture, ruang penghakiman terbuka luas untuk siapa saja. Hasilnya, kebenaran menjadi relatif, tergantung pada siapa yang paling keras bersuara atau siapa yang paling banyak mendapat simpati.
Hal ini diperparah dengan algoritma media sosial yang memperkuat gelembung opini. Ketika satu narasi viral, narasi tandingan sering kali tenggelam. Akibatnya, ruang publik kehilangan nuansa dan kompleksitas. Diskusi berubah menjadi dikotomi hitam-putih: mendukung atau menolak, benar atau salah. Padahal, realitas sosial tidak sesederhana itu.
Sebagian kalangan menyebut fenomena ini sebagai bentuk baru dari “trial by the press”—hanya saja kini medianya adalah media sosial, dan hakimnya adalah masyarakat daring yang kadang tanpa identitas. Dalam situasi seperti ini, prinsip kehati-hatian menjadi sangat penting. Jangan sampai semangat keadilan justru melahirkan ketidakadilan baru.
Budaya Akuntabilitas atau Budaya Hukuman?
Perlu dibedakan antara budaya akuntabilitas dan budaya hukuman. Budaya akuntabilitas mendorong individu untuk bertanggung jawab atas tindakannya dan memberikan kesempatan untuk memperbaiki diri. Sementara budaya hukuman cenderung menitikberatkan pada pencekalan dan penghapusan tanpa solusi jangka panjang.
Fenomena cancel culture sering kali lebih dekat dengan budaya hukuman. Seseorang yang pernah berbuat salah langsung dihakimi dan “dihapus” dari ruang publik. Padahal, manusia sejatinya makhluk yang belajar dan bisa berubah. Tanpa ruang pemulihan, proses ini menjadi destruktif dan kontraproduktif.
Yang dibutuhkan adalah ekosistem digital yang lebih sehat, di mana kritik tetap bisa disampaikan, tetapi dengan cara yang beradab dan adil. Etika digital perlu diperkuat, baik di tingkat individu maupun institusi. Literasi media dan empati sosial menjadi kunci untuk mencegah agar ruang daring tidak berubah menjadi medan tempur yang brutal.
Menuju Ruang Publik yang Seimbang
Tantangan ke depan bukan hanya bagaimana mencegah penyalahgunaan kekuasaan atau perilaku tidak etis, tetapi juga bagaimana menjaga agar semangat koreksi tidak berubah menjadi kekerasan simbolik. Ruang publik harus menjadi tempat bertumbuhnya kesadaran kolektif, bukan sekadar ruang saling menyalahkan.
Dalam konteks itu, penting bagi masyarakat untuk membangun budaya “call in” ketimbang “call out” yakni pendekatan yang mengajak orang berdialog dan memahami kesalahan mereka, bukan langsung mengusir atau mencoret. Ini bukan berarti membiarkan kesalahan berlalu begitu saja, tetapi mendorong transformasi yang berakar pada keadilan dan kemanusiaan.
Fenomena cancel culture mengingatkan kita bahwa setiap kemajuan membawa tantangannya sendiri. Di era digital ini, tantangannya adalah bagaimana tetap menjunjung nilai-nilai etika, keadilan, dan kemanusiaan dalam derasnya arus informasi dan opini. Jangan sampai dalam upaya menuntut kebenaran, kita justru kehilangan nilai-nilai dasar dari keadilan itu sendiri.
- Ilustrasi sosial media (Pixabay)
